Bimwin, Solusi Stunting dan Kemiskinan, atau Mempersulit Pernikahan?



Oleh: Febrinda Setyo
(Aktivis Mahasiswi)



Kemenag memiliki program rencana baru terkait pernikahan. Dalam aturan baru tersebut, calon pengantin diwajibkan untuk mengikuti bimbingan perkawinan atau Bimwin sebagai syarat bagi calon pengantin sebelum melaksanakan pernikahan. Peraturan baru tersebut dimuat dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam No.2 Tahun 2024 tentang Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin dan direncanakan akan mulai diberlakukan pada akhir Juli 2024 (Tribunnews.com, 27/3/2024). Bersamaan dengan diberlakukannya syarat baru tersebut, terdapat konsekuensi yang harus diterima jika tidak mengikuti Bimwin sebelum menikah, yakni tidak dapat mencetak buku nikah. Mengenai urgensitas program tersebut, Kasubdit Bina Keluarga Sakinah, Agus Suryo Suripto menegaskan bahwa tujuan dari program ini adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga. Beliau meyakini bahwa program ini harus diikuti oleh setiap calon pengantin sebagai upaya untuk menurunkan stunting (tempo.co, 30/3/2024).
Jika kita perhatikan lagi, tujuan utama program Bimwin ini adalah menurunkan angka stunting dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Namun apakah program ini efektif untuk memecahkan masalah tersebut?

Menurut WHO, stunting merupakan kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi yang berulang. Stunting ini biasanya ditandai dengan ukuran anak yang kecil, yaitu tinggi badannya tidak mencapai standar yang seharusnya. Faktor utama yang menyebab stunting adalah akibat gizi yang tidak tercukupi. Masalah pemenuhan gizi ini dapat terjadi akibat ekonomi keluarga yang kurang mendukung sehingga orang tua tidak dapat memberikan gizi optimal kepada anak, maupun kurangnya pendidikan ibu mengenai asupan gizi yang baik untuk anak sehingga akan memberikan apa-apa ke anak secara asal-asalan. Lebih dari hal itu, faktanya, stunting dan masalah kesejahteraan keluarga disebabkan oleh banyak faktor yang lebih kompleks dan sistemik.

Jika pemerintah hanya mengandalkan program Bimwin ini saja dalam upaya menurunkan stunting dan meningkatkan kesejahteraan keluarga, tentu saja sangat tidak cukup. Apalagi, syarat pernikahan yang semakin rumit membuat para calon pengantin yang belum memiliki kesiapan lahir batin dan kesadaran penuh tentang pernikahan akan menjalankan program tersebut sebagai formalitas saja, bukan sebagai sesuatu yang penting untuk diikuti dengan serius dan benar. Terlebih lagi jika pernikahan tersebut atas dasar paksaan atau tuntutan seperti sudah hamil di luar nikah dan sebagainya, calon pengantin akan menikuti program tersebut agar pernikahan dapat segera dilakukan. Tentu saja kondisi ini akan memunculkan masalah baru. Calon pengantin yang belum siap menghadapi segala konsekuensi dalam pernikahan tidak akan mampu bertahan dalam rumah tangganya dan merawat anaknya dengan baik. Dari sini, dapat kita lihat bahwa Bimwin tidak efektif dan tidak cukup untuk dijadikan sebagai solusi.
 
Bimbingan perkawinan ini merupakan bimbingan tentang bagaimana menyiapkan diri kehidupan dalam rumah tangga dan bagaimana menyiapkan diri menjadi seorang ibu, serta bagaimana kelak mendidik anaknya. Namun realitanya, ketika pengantin sudah benar-benar masuk di kehidupan rumah tangga, ada banyak sekali kesulitan dalam menerapkan teori yang sudah diajarkan tadi. Hal ini tidak terlepas dari sistem yang dijalankan hari ini yakni sistem kapitalisme. Dalam sistem ini banyak sekali kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya dalam hal ekonomi. Sistem ini membuat mereka yang kaya semakin kaya dan mereka yang miskin semakin miskin. Hal ini membuat banyak keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya dan mencapai kesejahteraan keluarga. Suami kesulitan dalam mencari nafkah sehingga kebutuhan rumah tangga tidak tercukupi. Dengan kondisi ini, ibu terpaksa harus keluar rumah dan bekerja untuk membantu pemenuhan tersebut. Akibatnya, anak tidak dapat terawat dengan maksimal. Jika sudah seperti ini, bukan hanya pemenuhan gizi yang tidak terpenuhi namun juga penjagaan dan pendidikan kepada anak tidak mampu diberikan secara maksimal. 
 
Mengenai masalah ini, Islam memiliki pandangan tersendiri. Dalam Islam, pernikahan boleh dilakukan asal sudah memenuhi syarat. Dalam Islam, kesiapan mengenai segala macam kewajiban, termasuk pernikahan, sudah dipersiapka sejak dini. Tidak hanya oleh orang tua namun juga oleh negara. Negara wajib menjalankan seluruh syariat Islam sehingga akan terwujud kepribadian islami di tengah masyarakat. Setiap individu yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami ini akan secara alami dapat menjalankan tugasnya masing-masing dalam segala lini kehidupan, termasuk rumah tangga. 
 
Dalam Islam kesejahteraan masyarakat juga ditanggung oleh negara. Sistem ekonomi islam yang diterapkan akan memunculkan kebijakan yang dapat menjamin kesejahteraan setiap individu dalam negara. Negara akan membuka banyak lapangan pekerjaan sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk pemuda yang ingin menikah namun tidak memiliki modal, negara akan membiayai kemudia sang laki-laki, atau suami, akan diberi pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Pendidikan kepada ibu juga akan diberikan. Ibu akan diajarkan bagaimana cara mendidik dan merawat anak dengan baik termasuk bagaimana cara memenuhi nutrisi anak dengan maksimal, sehingga masalah stunting dapat teratasi. 
 
Dengan sistem Islam ini, penurunan stunting dan kesejahteraan keluarga bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Sebaliknya, selama sistem kapitalisme ini masih dipakai, segala bentuk solusi yang ditawarkan tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan sampai ke akar dan justru dapat menimbulkan permasalahan yang baru.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak