Tiket Mudik Mahal, Negara Berdagang Dengan Rakyat?

 



Oleh. Putri Julia Ferniardo

Fenomena arus mudik menjelang lebaran adalah fenomena tahunan yang sering dilakukan masyarakat Indonesia. Bertemu sanak saudara di kampung halaman tercinta adalah hal yang utama saat seseorang pergi jauh merantau untuk kuliah dan berkerja.

Terlepas dari rasa bahagia yang sederhana, fenomena arus mudik ini juga menyita banyak perhatian dengan lonjakan harga tiket yang tidak main-main.

Kemenhub memperkirakan jumlah pemudik dengan pesawat mencapai 4,4 juta atau dengan rata-rata harian 275.416 penumpang. Jika dibandingkan tahun lalu, jumlahnya naik sebesar 12%. Namun, fakta ini tidak menyurutkan jumlah pemudik ditahun ini walau harga tiket yang melejit tinggi (dilansir dari detiktravel, 28 Maret 2024).

Berdasarkan data dari Kontan, harga yang dibanderol dari PT Garuda Indonesia untuk rute Jakarta – Surabaya naik dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,4 juta , Jakarta – Bali naik dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 1,9 juta, Jakarta – Yogyakarta naik dari Rp 950.000 menjadi Rp 1,1 juta. Kenaikan yang sama juga terjadi pada maskapai Pelita Air dan Air Asia.

Padahal KPPU meminta agar 7 (tujuh) perusahaan yang menjadi terlapor dalam perkara No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 Ulu Nomor 5 Tahun 1999 untuk tidak menaikkan harga tanpa alasan yang rasional serta memberitahukan kepada KPPU sebelum mengambil kebijakan untuk menaikkan harga tiket kepada konsumen.

Adapun pelaporan tersebut yakni terkait Jasa Angkutan Udara Niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam Negeri (Perkara Katel Piket). Ketujuh terlapor tersebut adalah PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Nam Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi (dilansir CNBC Indonesia, 15 Maret 2024).

Ketua KPPU, Franshurullah Asa menuturkan, pada 23 Juni 2020 KPPU telah membuktikan bahwa tujuh maskapai tersebut secara bersama-sama hanya menyediakan tikat subclass dengan harga tinggi, dan tidak membuka penjualan beberapa subclass harga tiket rendah.

Hal itu mengakibatkan terbatasnya pilihan konsumen untuk mendapat tiket dengan harga yang lebih murah. Selain itu, para maskapai tersebut juga terbukti meningkatkan pembatasan penerbangan yang dilakukan setelah aksi kartel terjadi untuk menurunkan pasokan tiket pesawat.

Akhirnya keputusan KPPU, para maskapai dijatuhi sanksi berupa wajib lapor secara tertulis kepada KPPU atas setiap kebijakan yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha,

Balutan Kapitalis?

Ternyata dengan dijatuhkannya sanksi tersebut terhadap berbagai maskapai pun tidak berpengaruh apapun terhadap harga tiket, alih alih menurunkan harga tiket malah lonjakan masih tetap terjadi.

Padahal transportasi pada saat mudik  sangat dibutuhkan masyarakat. Tentu harusnya negara menyediakan sarana murah aman, nyaman berkualitas, dan murah sepanjang massa sebagai bentuk wujud ra’aiyah (Pengurus dan pemelihara rakyat)

Sistem yang diterapkan hari ini membuat perusahaan penerbangan menjadikan layanannya sebagai bisnis. Hal ini selaras dengan prinsip reinverting government, dimana pemerintah berperan ibarat pedagang.

Negara yang seharusnya menjadi pelayan umat terlihat abai dalam persoalan ini, bahkan terkesan membiarkan, padahal faktor terbesar mahalnya tarif biaya mudik ini karena hasil kolaborasi negara dan para kapitalis lah yang membiarkan pihak asing merongrong kekayaan negeri, termasuk menguasai aset negara seperti perusahaan transportasi penerbangan.

Lagi lagi tak heran jika di sistem ekonomi kapitalis ini, Pemerintah terkesan memihak kepada mereka yang beruang dibanding rakyanya sendiri, mengingat negara telah memberikan karpet merah dalam pengelolaan aset kepemilikan umum kepada swasta atau asing, apalagi negara mengklaim  tidak memiliki SDM yang memadai untuk pengelolaanya sendiri.

Selain itu, pembiayaan pembangunan infrastruktur yang digantungkan pada utang luar negeri, termasuk urusan sarana dan prasarana transportasi, kerap kali menjadi jalan pintas negara untuk membuka Investasi seluas luasnya sebagai dalih pemasukan negara.

Pada akhirnya rakyat yang semestinya berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari negara, malah mereka harus membayar mahal. Maka wajar jika ada yang menyebutkan bahwa hubungan penguasa dan rakyat sama seperti penjual dan pembeli.

Sarana Kebutuhan Publik dalam Islam

Islam adalah agama yang sempurna, dikatakan demikian karena Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan.

Islam juga menjamin pemenuhan kebutuhan publik semua rakyatnya termasuk sarana transportasi merupakan tugas negara. Negara harusnya mampu mewujudkannya karena memiliki sumber pemasukan yang sangat beragam, sehingga mampu memenuhi kebutuhan rakyat.

Perlu dicatat juga dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), tranportasi publik memang tidak mesti gratis, harga yang dibanderol bisa terjangkau, sehingga seluruh lapisan masyarakat bisa merasakan moda transportasi umum tanpa adanya perbedaan status sosial.

Ketika negara mampu menggratiskan, ini akan lebih baik. Khilafah wajib menetapkan tata kelola transportasi publik yang menghalangi peran swasta mengendalikan pemenuhan hajat hidup orang yang banyak.
Tata kelola ini bisa dalam bentuk BUMN yang bertujuan untuk mendapat keuntungan. Artinya, kalaupun negara mengambil keuntungan dari sektor yang dibisniskan kepada masyarakat, yakni sektor industri jasa dan consumer. Maka, hal itu akan dikembalikan dalam bentuk hal lain.

Keberadaan BUMN pada industri jasa dan konsumen ini dapat membantu mencegah adanya praktik kartel oleh swasta sehingga pelayanan BUMN menjadi baik.

Mekanisme yang berjalan dengan sesuai pada sistem pelayanan yang prima cukup untuk menjaga kestabilan. Pada akhirnya, penghasilan BUMN akan masuk kas negara sebagai bagian dari kepemilikan negara.

Adapun peran swasta hanya memberikan penawaran khusus dengan biaya khusus untuk masyarakat yang memiliki kelebihan harta, bukan sebagai pengendali pemenuhan hajat publik seperti sistem yang berjalan pada saat ini (kapitalisme).

Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak