Pembentukan Satgas, Mungkinkah Masalah Pornografi Bisa Tuntas?




Oleh: Wahyuni Mulya
 (Aliansi Penulis Rindu Islam)



Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto membentuk satuan tugas (Satgas) yang melibatkan 11 lembaga negara untuk menangani kasus pornografi yang libatkan anak-anak. Satgas ini dibentuk dengan merangkul sebanyak enam Kementerian atau Lembaga yakni, Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Melalui Satgas tersebut, nantinya kementerian-kementerian yang terlibat bakal dikoordinasikan guna mengatasi permasalahan tersebut. Selain tindakan asusila secara online, menurutnya Satgas tersebut juga mengusut tindakan asusila offline.

Hadi Tjahjanto menyatakan, pihaknya menangani permasalahan pornografi secara online yang membuat anak-anak di bawah umur menjadi korban. Laporan yang dihimpun dari National Centre for Missing Exploited Children bahwa temuan konten kasus pornografi anak di Indonesia selama 4 tahun sebanyak 5.566.015 juta kasus. Indonesia masuk peringkat empat secara internasional dan peringkat dua dalam regional ASEAN.

Data kasus dan konten pornografi anak di Indonesia selama ini tak menunjukkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan. Pasalnya, banyak korban yang menutupi dan tak mau melaporkan kejadian sebenarnya. 

Cuan dan Kekacauan

Pendapatan total industri ini tidak main-main. Jika merujuk pada industri pornografi dunia seperti di AS, pada 2006 saja, industri pornografi sedunia mencapai 97,6 miliar dolar AS. Pantauan toptenreviews.com bahkan pernah menuliskan total pendapatan industri pornografi ini lebih besar dari total pendapatan delapan perusahaan teknologi informasi terbesar di dunia, yaitu Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo, Apple, Netflix, dan EarthLink.

Kemajuan teknologi dan digitalisasi media membuat industri pornografi berkembang berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang yang berkonotasi seksual dengan konten 18+. Menyedihkannya, rata-rata usia termuda anak-anak pengakses pornografi adalah 11 tahun (setara kelas 4 atau 5 SD). Di antara usia 15—17 tahun, 80 persennya terbiasa mengakses materi pornografi.

Kenyataannya, konten-konten dewasa ini berkontribusi besar dalam mengacaukan sistem di masyarakat. Teror konten-konten pornografi tersebut kemudian memantik munculnya kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, maupun masalah sosial lainnya.

Prostitusi online adalah bisnis besar, apalagi yang menyangkut dengan anak. Pada 2021 saja ada 1,8 juta kasus seperti ini yang belum terselesaikan. Akses pada pornografi anak-anak pun sangat terbuka. Ratusan video ditawarkan secara bebas melalui media sosial dan pembayarannya via dompet digital.

Kasus Semakin Merebak

Kepolisian berhasil mengungkap jaringan pornografi anak internasional, penyidik menemukan 3.870 video dan 1.245 foto porno yang diproduksi dan dijual melalui Telegram. Pembelian video via Telegram dengan menawarkan paket, 50 video harganya Rp50.000, 100 video Rp100.000, dan 200 video Rp150.000. Ada pula penawaran dengan membayar Rp50.000 bisa mendapatkan 441 video porno anak-anak.

Para pelaku kejahatan pornografi anak membuka akun permainan online yang disukai anak-anak. Mereka kemudian meminta data berupa nama, foto, umur, hingga nomor ponsel anak perempuan di bawah 15 tahun. Hal ini adalah langkah pertama mereka untuk menjerat anak-anak.

Wajar jika pornografi anak akan terus merebak, sebab kala mengungkap satu jaringan, ratusan jaringan yang lain masih beroperasi. Apalagi sanksi yang diberlakukan bagi tindakan kejahatan ini tidak memberi efek jera. Akibatnya, kasus prostitusi anak dan pornografi anak terus berulang, itu pun masa tahanannya bisa dipotong dan bebas kembali. Jika minim proteksi seperti ini, pantas penyelesaiannya tidak kunjung tuntas.

Bagaimana Menuntaskannya?

Sistem demokrasi-sekuler membuat orientasi pada kemaksiatan berkembang subur. Selama ada permintaan, kapitalisme akan memproduksi meski itu merusak generasi, termasuk pornografi bahkan menjadi sesuatu yang legal.  Apalagi, dalam kapitalisme, produksi pornografi termasuk shadow economy yang akan dipelihara dan dibiarkan.

Di sisi lain, sistem hari ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung agar kejahatan termasuk kejahatan seksual tidak merajalela di masyarakat.  Terlebih peraturan tidak menyentuh akar persoalan sementara sistem sanksi tidak menjerakan. Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan dan kemaksiatan adalah kejahatan yang harus dihentikan.

Islam memiliki konsep khas, penelaahan terhadap syariat tidak akan memunculkan perdebatan panjang mengenai definisi pornografi. Dalam Islam, telah jelas batasan aurat, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Demikian juga konten yang hadir di masyarakat melalui media, negaralah yang berperan besar untuk menyelesaikannya.

Hal yang tidak kalah penting adalah sanksi yang negara terapkan harus memberi efek jera agar kasus serupa tidak terulang. Menurut syariat Islam, kasus pornografi terkategori kasus takzir, yakni khalifah yang berwenang menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Industri maksiat jelas haram dan terlarang.

Islam memiliki mekanisme memberantas kemaksiatan dan memiliki sitem sanksi yang tegas dan menjerakan sehingga akan mampu memberantas secara tuntas. Semua elemen masyarakat harus menyadari bahaya merebaknya jaringan pornografi anak. Peran negara sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini dan Islam satu-satunya solusi yang bisa memberikan perlindungan terhadap anak dan masyarakat.

Negara bertanggung jawab menghilangkan penyebab utama kerusakan, yaitu penerapan ekonomi kapitalisme, penyebaran budaya liberal, serta politik demokrasi. Ketika institusi Islam tegak, ini akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Anak-anak pun tumbuh dan berkembang dalam keamanan serta kenyamanan, juga jauh dari bahaya yang mengancam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak