Kekerasan terhadap Anak Terus Berulang Bukti Lemahnya Jaminan Perlindungan Negara



Oleh: Wulansari Rahayu


Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak menjadi bukti anak tidak mendapat jaminan keamanan bahkan dalam keluarga. Kasus ini merupakan fenomena gunung es. Yang berarti lemahnya jaminan perlindungan atas anak di negeri ini, bahkan di Tingkat keluarga. Kekerasan terhadap anak merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan hingga saat ini. Hal tersebut terungkap dari apa yang disampaikan oleh ketua Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA) beberapa waktu lalu.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu menjelaskan pihaknya selalu melakukan survei nasional setiap tiga tahun sekali. Hingga saat ini, data terakhir yang dimiliki Kemen PPPA adalah data tahun 2018 dan 2021. Dari kedua data tersebut ditemukan kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia menurun. Walaupun total secara keseluruhan kasus masih tetap tinggi hingga puluhan juta. (detik.com, 13/11/2023)
Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara. Mirisnya hari ini tidak berfungsi dengan baik. 

Kita pun jadi bertanya, mengapa kasus kekerasan terhadap anak masih tetap ada dan trennya terus meningkat? Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar hingga anak-anak tumbuh menjadi sosok yang berkepribadian baik. Namun, saat ini, sekolah malah menjadi tempat anak-anak mendapatkan pengalaman yang buruk. Baik mereka menjadi pelaku maupun menjadi korban kekerasan.

Apabila kita telisik, hal ini tidak lepas dari warna kehidupan sekuler yang melingkupi masyarakat termasuk anak-anak di sekolah. Kehidupan sekuler menghasilkan generasi yang sekuler pula. Mereka jauh dari tuntunan agama sehingga kepribadiannya menjadi tidak baik. Kehidupan sekuler itu ibarat kolam lumpur yang membuat siapa pun yang ada di dalamnya akan menjadi kotor. Kalaupun ada yang tetap bersih, sedikit sekali jumlahnya.
Anak-anak hari ini, dididik secara sekuler. Banyak gim yang menyuguhkan kekerasan begitu pula tontonan berupa film yang sangat mudah mereka akses. Belum lagi dari sisi kurikulum pendidikan. Kurikulum yang diajarkan kepada mereka adalah kurikulum sekuler, menjauhkan agama dari kehidupan. Meski pada anak-anak yang sekolah di madrasah sekalipun, kurikulumnya juga sekuler. Akibatnya, lahirlah generasi sekuler yang tidak mengenal agamanya sendiri, padahal ia muslim sejak lahir.

Anak-anak hasil didikan sekularisme cenderung berbuat ”semau gue” karena tidak ada agama yang menuntun perilakunya. Mereka melakukan kekerasan, perundungan, kenakalan, dan lain-lain tanpa merasa berdosa. Sebab mereka tidak mengenal halal haram. Dengan dalih kebebasan, perilaku mereka menjadi serba boleh. Begitulah bahaya sekularisme. 

Oleh karenanya, untuk menghentikan kekerasan di sekolah, mutlak harus mengubah warna kehidupan dari sekuler menjadi islami. Untuk mewujudkan kehidupan yang islami, butuh perubahan sistem, yaitu dari sistem sekuler kapitalisme menjadi sistem Islam. Untuk mewujudkan sistem Islam, kita butuh mengubah landasan kehidupan menjadi berdasarkan akidah Islam.

Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekulerisme juga membuat beban hidup makin berat, termasuk meningkatkan stress, sehingga mengakibatkan  mudahnya melakukan kekerasan.
Di sisi lain juga menajdi bukti mandulnya regulasi yang ada, baik UU P-KDRT maupun UU Perlindungan anak yang bahkan sudah mengalami revisi 
Sistem Islam juga akan mengembalikan fungsi keluarga sebagai tempat tarbiyah (pendidikan dan pembinaan) bagi anak. Saat ini fungsi tersebut mandul karena kedua orang tua dituntut oleh sistem untuk semuanya bekerja keluar rumah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga pendidikan anak di rumah terabaikan. Anak dididik oleh gawai dan media sosial.

Selain itu, Khalifah sebagai pemimpin negara akan menjaga anak-anak agar tidak terkena pengaruh negatif dari media. Khalifah akan mengatur media massa dan media sosial agar tidak menayangkan konten yang tidak islami. Bahkan, gim daring mungkin akan dijauhkan dari kehidupan umat karena terkategori permainan yang melalaikan.
Syekh Az-Zuhaili mengatakan, “Dan wajib bagi seorang ayah mengatur waktu anaknya saat tidur dan bangun, guna menjaga kesehatannya. Setiap sesuatu yang menjadi perantara pada keharaman, maka hukumnya haram, hingga alat permainan yang hukum asalnya mubah maupun makruh.” (Syekh Zuhaili, Fatawa Mu’ashirah, 2003: hlm. 200).

Islam mewajibkan setiap orang memahami pentingnya perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya dalam semua lapisan Masyarakat, baik keluarga, Masyarakat maupun negara.
kita bahwa peluncuran Kurikulum Merdeka episode ke-25 tentang Permendikbud PPKSP tidak cukup untuk menangani banyaknya kasus kekerasan di sekolah. Tampak bahwa solusi tersebut membutuhkan peran keluarga, masyarakat, sekolah, dan negara yang semuanya satu visi yaitu visi Islam. Alhasil, solusinya hanya akan terwujud dengan penerapan sistem Islam di bawah institusi negara Khilafah.
Wallahu’alam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak