Berulangnya Skandal Korupsi Akibat Sistem Sekularisme Liberal*




Oleh: Akah Sumiati



Pada akhir Maret tahun 2024 ini, publik digegerkan oleh kasus korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk (TINS) yang angkanya fantastis, yakni mencapai Rp271 triliun. Entah sebutan apa yang pantas disematkan pada kasus kejahatan luar biasa ini. Yang pasti, kasus ini benar-benar melukai hati nurani rakyat, mengingat ekonomi negara saat ini sedang dalam kondisi buruk hingga pelayanan atas hak-hak rakyat pun menurun akibat minimnya sumber-sumber pemasukan keuangan negara.

Kasus tersebut kini tengah ditangani aparat kejaksaan dengan menggunakan metode case building, dan sudah berhasil menciduk belasan tersangka. Di antaranya adalah Selebgram Helena Lim, HL adalah crazy rich Pantai Indah Kapuk yang dikenal kerap mempertontonkan gaya hidup supermewah di media sosial. Disusul tersangka ke-16 Harvey Moeis, HM adalah suami artis ternama Sandra Dewi yang juga dikenal tajir melintir dan selalu digambarkan sebagai malaikat penolong yang begitu ringan tangan membantu banyak orang.

Mereka berdua diduga sudah lama melakukan praktik korupsi dan pencucian uang di PT TINS, yakni sejak tahun 2015 hingga 2022. Namun, peran mereka diduga hanya sebagai operator lapang, sedangkan otak utamanya adalah seorang mafia besar berinisial RBS.

RBS inilah yang diduga berperan mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah di PT TINS. Modusnya adalah mendorong perusahaan-perusahaan tersebut melakukan kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk di Bangka Belitung seluas 170,36 ribu hektar dan menyewa jasa peleburan timah ke PT TINS.

Perusahaan-perusahaan swasta ini sendiri mengelola pertambangan secara ilegal alias melakukan pencurian di bawah akomodasi pihak berwenang, lalu hasilnya dijual kembali kepada PT Timah Tbk dengan harga lebih mahal. Hal inilah yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, padahal kerugiannya bukan kerugian secara ekonomi saja, melainkan juga kerugian secara ekologi atau lingkungan yang efeknya jangka panjang.

Terlebih atas arahan RBS, Harvey Moeis pun meminta perusahaan-perusahaan tadi mengeluarkan dana pertanggungjawaban lingkungan alias dana CSR yang kemudian dikelola perusahaan milik Helena Lim. Tentu saja, dana-dana CSR ini tidak sepenuhnya digunakan untuk kegiatan sosial. Diduga kuat dana tersebut digunakan untuk menarik keuntungan pribadi sekaligus untuk menyuap para pejabat dan para pejabat PT TINS beserta pihak berwenang lainnya sehingga praktik curang ini bisa sekian lama berlangsung aman.

Munculnya kasus korupsi timah ini sebetulnya tidak terlalu mengagetkan. Hal ini karena praktik korupsi di Indonesia sudah sedemikian membudaya dan biasanya melibatkan banyak pihak alias dilakukan secara berjemaah.

Biasanya hal ini terkonfirmasi saat banyak kasus korupsi terungkap ke permukaan. Tidak sedikit skandal korupsi yang melibatkan para konglomerat dan menyeret para pejabat, mulai dari wakil rakyat, pejabat kementerian, pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum dan keamanan. Sayangnya, tidak sedikit yang kasusnya menguap karena intervensi kekuasaan dan kekuatan uang.

Hal ini tentu merupakan pertanda buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia karena berarti sepanjang satu tahun itu sama sekali tidak ada perbaikan. Bahkan Indonesia masuk dalam kategori negara yang sangat korup, baik di tingkat dunia maupun Asia Tenggara.

Sulitnya mengeliminasi kasus korupsi ini memang dipengaruhi banyak faktor. Selain soal personalitas atau integritas manusianya, faktor budaya yang diwariskan turun temurun bahkan sejak zaman penjajah juga turut berperan dalam melembagakan perilaku koruptif.

Hal ini diperparah dengan sistem hukum dan birokrasi yang diterapkan. Selain membuka banyak celah kecurangan, penegakannya pun sedemikian bermasalah sehingga praktik yang merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat ini seolah sangat sulit untuk diberantas. Tengok saja, betapa banyak pelaku korupsi yang bisa bebas melenggang sekalipun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan dengan kekuatan uang para oligark, hukum, lembaga hukum, dan aparatnya bisa tumpul dan mereka pun berani melakukan korupsi berulang.

Sulitnya memberantas korupsi sejatinya menunjukkan buruknya sistem hidup yang sedang diterapkan. Sistem ini memang tegak di atas paham sekuler liberal yang menafikan peran agama atau prinsip halal haram dalam kehidupan. Wajar jika kebebasan perilaku menjadi hal yang lumrah dan diniscayakan.

Begitu pun dengan berbagai aturan hidup atau undang-undang yang ditegakkan, semuanya lahir dari pemikiran manusia dengan pandangan kemasalahatan yang berbeda-beda. Wajar jika celah keburukan dan kelemahan senantiasa terbuka lebar. Bahkan mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat curang.

Tidak hanya itu, buruknya sistem dengan mudah menyeret orang-orang yang shaleh untuk turut berbuat salah. Hal ini disebabkan paham individualisme dan liberalisme yang dibiarkan berkembang di tengah masyarakat. Akibatnya, kerusakan makin lama makin merebak dan sulit diberantas.

Berbeda halnya ketika kehidupan diatur oleh sistem Islam (Khilafah). Sistem ini tegak di atas landasan akidah yang terwujud dalam seluruh amal perbuatan. Halal haram benar-benar menjadi patokan sehingga celah keburukan tertutup rapat karena kukuhnya keimanan menjadi pengawasan melekat, baik pada individu pegawai dan pejabat, bahkan seluruh rakyat.

Selain itu, masyarakat yang menegakkan sistem Islam sangat kental dengan budaya amar makruf nahi mungkar. Bahkan budaya ini menjadi pilar kedua untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum syarak. Jika pun ada penyelewengan, dipastikan tidak akan menjadi fenomena.

Terlebih sistem Islam punya tiga pilar dalam pencegahan kerusakan di tengah masyarakat. Yakni penegakan aturan Islam secara konsisten oleh negara dan perangkatnya, mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial atau pergaulan, pendidikan, media massa, dan lain-lain. Aturan Islam inilah yang akan menjaga fitrah kebaikan dan menjamin berbagai kemaslahatan yang didambakan oleh manusia, termasuk diraihnya kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.

Betul bahwa dimungkinkan dalam sistem Islam terjadi pelanggaran. Namun, adanya sistem hukum dan sanksi yang sangat tegas dalam Islam akan meminimalkan terjadinya penyimpangan. Mereka yang berani korupsi, misalnya, harus siap-siap hartanya disita. Lalu namanya akan disiarkan hingga menjadi sanksi moral tersendiri bagi pelakunya. Khalifah pun akan menetapkan hukuman takzir seperti pemenjaraan sesuai kadar kesalahan yang dilakukan.

Wallahu'alam Bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak