Maraknya Prostitusi Online, Potret Kelam Kapitalisme



Oleh: Sukma Oktaviani, S.E




Prostitusi online atau dikenal dengan open booking order alias ‘Open BO’ kian marak dan mengerikan di tengah-tengah masyarakat. Dilansir dari tribunnews.com seorang mucikari dengan inisial DTP (27) berhasil menghasilkan 300 juta dari bisnis prostitusi online di kota Bogor, Jawa Barat. Dia menjual perempuan dengan tarif hingga 30 juta. ( tribunnews.com 14/03/24).

Fakta lainnya, di Sulawesi Selatan dilakukan razia gabungan dengan menyasar hotel, penginapan, indekos dan wisma yang dicurigai digunakan untuk prostitusi online pada Sabtu (16/03/24), dan ditemukan 32 orang yang terjerat kasus prostitusi online, terdiri dari 10 laki-laki dan 22 wanita. Mereka kemudian dibawa ke kantor Satpol PP untuk dilakukan pendataan (detiksulsel.com 17/03/24)

Prostitusi online di Indonesia bukan hal yang mudah untuk diberantas dan di tuntaskan jika sanksi yang berlaku tidak membuat jera. Kementerian Sosial pada 2018 lalu menyatakan Indonesia merupakan negara dengan jumlah lokalisasi paling banyak di dunia dan ini bukan hal yang patut kita banggakan. Karena hal ini menunjukkan bahwa praktik prostitusi di Indonesia sebenarnya sudah banyak dilakukan sejak lama. Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia mengatakan bahwa estimasi jumlah pekerja seks perempuan di Indonesia sekitar 230.000 orang pada tahun 2019.

Cengkeraman Sekularisme

Sekulerisme adalah pemahaman pemisahan agama dari kehidupan yang merupakan asas dari sistem kapitalisme yang hari ini diterapkan di negeri ini.

Dikutip dari muslimahnews.id. pengamat sosial politik Ustadz Iwan Januar memandang, tidak ada sanksi hukum bagi pelaku prostitusi  di negara yang mayoritas berpenduduk Islam ini karena cengkeraman  sekularisme. “Indonesia ini sudah lama dicengkeram oleh asas sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Prostitusi terus marak karena tidak ada sanksi pidana yang bisa jerat mereka. Tidak ada sanksi yang melindungi masyarakat, dan ditakuti oleh para pelaku,” tuturnya.

Iwan mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memuat sanksi pidana bagi pekerja seks komersial (PSK) dan pengguna jasa PSK. “KUHP hanya memidanakan orang memfasilitasi atau yang mencari keuntungan dari pelacuran, alias para mucikari. Ini yang menyebabkan polisi melepas korban dan para PSK,” ujarnya.

Berlakunya sistem kapitalisme yang ber-asaskan  sekulerisme di negeri ini menjadikan sanksi-sanksi yang berlaku tidak menjerakan, serta membuat orang tua dan masyarakat hanya fokus pada materi lalu mengabaikan peran mereka dalam melindungi anak, dan dirinya sendiri serta menjauhkan mereka dari nilai-nilai agama. Sehingga kerusakan-kerusakan dalam masyarakat senantiasa terjadi. Begitulah problematika bercabang akibat diterapkannya sistem yang diciptakan oleh hawa nafsu manusia.

Islam Memandang Prostitusi

Dalam pandangan Islam semua jenis prostitusi adalah haram dan wajib dihukum sesuai dengan hukum Allah Swt. Baik PSK maupun orang yang memanfaatkan jasa mereka diancam dua hukuman yakni sanksi jilid bila belum menikah, atau rajam bila sudah menikah. Adapun orang yang terlibat dalam lingkaran prostitusi seperti mucikari, menurut Ustadz Iwan Januar bisa diancam dengan hukuman berat berupa takzir yang ditentukan oleh pengadilan.

Dalam pandangan Islam, sanksi yang diberlakukan bertujuan untuk mecegah terjadinya kasus prostitusi berlanjut, serta menghapus dosa pelaku di dunia. Sanksi yang berlaku dalam Islam ini tidak bisa dibeli dengan uang, karena berkaitan dengan dosa dan sanksi ini memberikan efek jera bagi manusia.

Oleh karena itu, tidak ada sistem terbaik selain sistem Islam yang merupakan sistem ciptaan Pencipta manusia dan alam semesta ini yaitu Allah Swt. Marilah kita menyerukan kepada umat manusia agar kembali kepada Islam, menyelamatkan umat manusia dari kerusakan-kerusakan akibat hawa nafsu mereka sendiri. Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak